Future Imaging #1

darin alya khairunnisa rizdinanti
4 min readMar 28, 2023

“Boleh duduk di sini, Mba?” Suara seorang lelaki membuatku mengadahkan pandangan dari laptop. “Semua tempat kebetulan udah penuh.” lanjutnya menjelaskan.

“Oh boleh — boleh. Silahkan.” Sautku pendek, lalu kembali memfokuskan diri pada kerjaan di depan mata. Disudut mata terlihat lelaki ini menggeser kursi, duduk, dan mengambil sesuatu dari tas ranselnya — kemudian membuka laptop juga. Mungkin mahasiswa? Tapi sepertinya lebih cocok jadi karyawan juga — sepertinya usianya sebaya denganku.

“Sorry, Mba — ngecharge laptopnya boleh gantian, kah?” Lelaki ini bertanya. Sedikit enggan tapi tetap ku cek baterai laptopku — 38%.

“Butuh banget gak, ya, Mas? Aku sebentar lagi cabut tapi takut tetep diminta buka laptop diperjalanan. 15–20 menit lagi, mungkin?” Asal. Aku tidak nyaman mengerjakan sesuatu dengan baterai di bawah 50%. Hari ini atasanku cuti, tidak akan ada yang minta buka laptop.

“Oh oke, oke. Santai, Mba.”

Lalu kita kembali tenggelam dalam laptop masing-masing.

Ini hari Rabu. Hari yang ku dambakan menjadi hari libur nasional apabila Indonesia menerapkan 4 hari kerja perminggunya. Tapi hari ini tidak libur. Dan aku tetap bekerja seperti biasa. Yang berbeda adalah tiap kali ada kesempatan work from home, aku biasa menghabiskan waktu dengan benar-benar bekerja dari rumah. Irit! Tapi jam 11-an tadi rasanya mau keluar kosan dan setelah menimbang-nimbang kayaknya bulan ini cashflow aman — kayak boleh jajan sedikit keluar kosan dan lanjutin kerja disana setelah sholat dzuhur. Biar gak ribet.

Dua jam sudah berlalu ditemani long black + susu almond dan pisang goreng, sebelum lelaki ini datang. Tanpa disadari, ternyata benar cafe yang dua jam tadi sepi sekarang full house.

Lima belas menit setelahnya aku menutup laptop. Hari rabu, tengah bulan, atasan cuti. Kombinasi yang menghasilkan workload normal di industri yang terkenal dinamis dan serba cepat. Alhamdulillah!

“Mana charger laptopnya, Mas? Aku udah beres nih.”

“Oh iya, ini ya, Mba — thank you, thank you.” Ia menyerahkan charger-nya yang sedari tadi terletak disebelah laptopnya.

“Masuk?”

“Sip aman, Mba. Makasih lagi, ya.” Aku mengangguk mengiyakan. “Langsung mau cabut, Mba?” Ia membuka percakapan.

“Um — enggak juga, sih. I lied earlier — sorry.” Responku seraya merapikan buku catatan, laptop, dan alat tulisku — memasukan semua kedalam tas. Dan mengeluarkan buku lain: Letters from a Stoic. “Kuliah/kerja, Mas?”

“Kerja deket sini, I actually saw you couple of times — I think.

“Masa?”

I’m a regular here. Kayaknya jam 5 lewat sedikit dari arah timur sana Mba bakal jalan ngelewatin cafe ini terus belok kiri tiga gang dari sini.”

“In that case, you are not wrong. Emang kerjanya santai apa gimana bisa merhatiin sekitar, Mas?”

“Nyari inspirasi, Mba.” Ia membenarkan posisi duduknya. “Udah boleh pake gua-elu belum, sih?”

Aku tertawa. “Boleh banget, santai. Senyamannya aja.”

“Lu kerja dimana, Mba?”

“Lu duluan dong. I’ll tell you mine if you share your story first.” Good job, Rin! Kunci dari mengurangi self-narcisist atau self-centricism adalah dengan menanyakan tentang orang lain terlebih dahulu. Genuinely.

“Gua di samsung — bagian advertising. Tapi sekarang lagi agak lowong makanya freelancing buat design-design simple gitu. Itu maksudnya tadi cari inspirasi nongkrong di sini.”

“Seru. Sisi dunia yang kayaknya tercipta bukan buat gua — to design, I mean.

“Kenapa emangnya?”

I’m not a creative one. To art, specifically. Saking parahnya dulu gua warnain gunung abu-abu.”

“Sumpah?” Aku mengangguk tertawa sedikit. “Itu malah bisa jadi sumber kekreatifan lu, loh.”

“Gak usah ngeledek. Dari kecil bakat seni menggambar gua emang mengkhawatirkan.”

“Lu sendiri gimana? Tell me about you.

“Tapi gak apa-apa nih kita ngobrol? Lu gak ada deadline sesuatu malam ini or something?”

Ia menggeleng, “Deadline mah gak bakal gak ada. Tapi situasi bisa ngobrol gini kan yang jarang terjadi.”

If you say so.” Aku merapikan jilbabku sebelum memulai. Jangan oversharing. Jangan terlalu heboh. Secukupnya dan sewajarnya aja. “Bener gua kerja di arah timur yang tadi lu tunjuk — though I have no idea about direction. Industri FMCG bidang sales-marketing.” Agak kepanjangan, tapi masih wajar.

“Industri yang katanya gak pernah mati, ya?”

“Gua gak pernah riset sih, but i hope so.” Aku menyeruput minumanku yang sudah mulai hilang rasa karena esnya mencair. “Industri lu juga oke, kan? Kayaknya sedikit banget orang yang gak tau brand itu.”

“Halo — assalammua’laikum nokia, blackberry?”

Lalu kita tertawa lepas sebelum hening yang nyaman. Aku melihat ke sekeliling, bapak-bapak ojol menertawakan sesuatu sambil menunggu orderan. Lalu lintas mulai ramai, sepertinya orang sudah mulai bergegas pulang. Crap — belum sholat ashar.

Aku menaruh buku yang lagi-lagi tidak ku baca ke dalam tas.

“Gua gak ganggu lu dan deadline lu lebih lama lagi, deh. Cabut duluan, ya.” Aku merapihkan jilbabku lagi dan mataku memindai barang yang mungkin tertinggal.

“Santai kali — mau gua anter?” Aku membeku. Too fast too soon. Creepy, but sweet if it is genuine.

I’ll be fine. Maybe next time.” Yap — gak boleh judging, gak boleh mendahului takdir, gak boleh self-reject juga.

Next time berarti bakal ada sesi kita ngobrol lagi?”

I promise nothing.” Aku berdiri dan menyelempangkan tas. “Cabut, ya.”

“Nama lu boleh diinfo dulu, gak, sih?” Lagi, aku tertawa kecil.

Memindai meja sekali lagi — semoga gak ada yang ketinggalan. “Alya.” Sautku. “Lu?”

“Dani.”

(tbc)

--

--

darin alya khairunnisa rizdinanti

journaling, heart-pouring, or just another ordinary story of mine.