Future Imaging #2

Jam menunjukkan pukul 15.00 alias waktu rawan. Rawan hilang fokus. Rawan khilaf jajan-jajan cantik atau konsumsi kalori yang not really necessary. Rawan otomatis mengemasi barang dan bergegas pulang — tidak ada absen fingerprint di kantorku.

Hari ini aku duduk di lantai 7 menghadap langsung ke pemandangan gedung pencakar langit dan lalu lintas yang belum padat di Jl. Dr. Satrio Kuningan. Kantorku menerapkan sistem duduk siapa cepat dia dapat dan hari ini aku memilih duduk sendiri — tidak di sekitar tempat timku duduk. Bukan hari yang panjang dan melelahkan, hari ini semua berjalan lancar dan tidak ada masalah yang berarti.

Aku termenung di jam rawan ini, pikiranku berkelana memikirkan apa yang berlangsung selama 3 bulan terakhir di hidupku. Jalur langit, lagi. Betapa Sang Pencipta menyayangiku — yang ibadahnya tidak selalu tepat waktu, yang tutur katanya kadang tidak santun, yang tingkah lakunya sering kali bertentangan dengan ajaran-Nya.

I’m living the life I’ve been dreaming of — for now, again.

Kali pertama tentu saja saat memasuki dunia kuliah. Sejak SD sampai SMP selalu masuk tiga besar dikelas — bahkan di angkatan. Namun, SMA berbeda — terlalu banyak orang pintar dan meskipun sedikit sangsi, ternyata SMA-ku cukup diunggulkan. Tidak no satu, tapi cukup oke di areanya.

Seperti candu bersosialisasi, masa SMA-ku habis untuk bermain, bermain, dan bermain. Kelas 12 menjadi puncaknya. Perwakilan perkumpulan OSIS MPK se-Jakarta. Perwakilan OSIS dan Cinematography untuk screening film layar lebar. Perwakilan olimpiade matematika. Perwakilan sekolah untuk promosi pensi di radio. Perwakilan lomba debat. Dan sederet perwakilan-perwakilan lainnya.

Tidak ada yang maksimal dalam persiapan ujian akhir dan seleksi masuk kuliah. Agenda lain akan diutamakan diatas kepentingan akademis. Hampir selalu.

Semua baru selesai sekitar sebulan sebelum rangkaian ujian dimulai. Dengan persiapan alakadarnya, tiap malam berbekal 3 gelas kopi hitam aku begadang mencoba mengerjakan soal-soal latihan atau sekedar mencatat ulang. Pukul 3 tidur dan bangun pukul 6. Part of the consequences of playing too much.

Pemilihan jurusan dan kampus impian sudah ditentukan oleh Mama — mengingat jurusan impian tidak mendapat restu dan rasanya kala itu terlalu sibuk untuk memikirkan masa depan. Mungkin beruntung, mungkin juga hasil dari Sistem Kebut Semalam (SKS) yang tidak terlalu buruk — aku mendapat kesempatan untuk daftar melalui jalur undangan. My best shot. Jalur tertulis seperti pintu menuju kandang singa yang kelaparan; tidak akan lolos. I didn’t prepare myself thoroughly for that intense battle.

Menunggu hasil adalah momen paling meresahkan. Ketakutan tidak diterima di kampus manapun membuatku menyiapkan beberapa rencana cadangan. Singkat cerita, aku sudah mengantongi 3 beasiswa kampus swasta. Meski besar harapku untuk tidak menggunakannya.

Aku berpegang erat pada jalur langit. Dan pendosa sepertiku diijabah doanya oleh Sang Maha Baik. Ini menjadi kekuatan saat menjalani masa kuliah yang rasanya tidak semenyenangkan itu. I’m living the life many people dreaming of. This is the view I once wished to see every day. Mantra pengingat untuk bersyukur itu menyelamatkanku selama empat tahun. Frustrasi. Patah Hati. Kecewa. Marah. Kuterima dan kutelan sebagai bentuk tanggung jawab atas doa yang telah diijabah oleh-Nya.

Tiga bulan yang lalu ceritanya tidak terlalu berbeda.

Sekitar 2 minggu sebelum sidang skripsi, Papa dipanggil menghadap Sang Pencipta. Anak pertama dan cucu pertama dari sisi Papa. Tidak ada yang memberi kewajiban untuk melakukan ini dan itu, tapi beban harapan untuk setidaknya menyamai beliau cukup terasa. Financially, things get hard and harder.

Setelah lulus kuliah aku bekerja di suatu perusahaan yang sama besarnya dengan perusahaanku sekarang. Untuk pertama kalinya, aku merantau. Sangat menyenangkan, disamping fakta bahwa rasanya cukup kesepian — tapi aku memiliki ruang dan waktu untuk diriku sendiri serta kebebasan melakukan apapun yang aku mau; it was a good deal and fair exchange. Tapi aku harus mencari cara agar bisa mencukup kebutuhan hidup keluarga; dalam hal ini Mama dan Adik. So, i was looking for another job.

Bau-bau fresh graduate masih melekat pada diriku — belum lebih dari dua tahun setelah kelulusanku. Nilai jual masih rendah. Pengalaman belum banyak teruji. Latar belakang kuliah berbeda jauh dengan bidang atau industri karier yang ingin kutempuh. Pekerjaanku saat itu cukup manageable — butuh tenaga dan waktu ekstra tidak setiap saat.

Tapi jalan untuk mendapatkan pekerjaan di tempat lain sangat abstrak. Mulai dari mana? CV? Done. Daftar kemana aja? LinkedIn? Done. Networking? Ini yang membuatku sangsi. Networking-ku sebagian besar adalah kerabat Papa. This is my privilege — things I didn’t ask but happen to be in front of my door. Tapi apa ekspektasi mereka? Apa mereka akan keberatan? Apa akan terlihat sangat “aji mumpung”?

Jalur langit menjadi andalanku lagi. Detail kupanjatkan doa tentang industri perusahaan, tentang periode penerimaan, tentang tim dan performance, tentang kebebasan atas penggunaan ruang dan waktu yang tidak ingin kulepaskan. Yang Maha Baik, Yang Maha Besar, Yang Maha Penyayang, Yang Maha Mengatur, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pemberi Rizki, Yang Maha Mengabulkan Doa — tiada daya dan upaya tanpa kehendak-Nya.

April aku mulai sembari berserah kepada-Nya untuk mencari pekerjaan baru. Juni kabar baik yang ditunggu-tunggu didatangkan oleh-Nya untukku. Juli aku memulai lembaran baru di bab karier hidupku. Sang Maha Esa mengijabah doaku lagi.

Tiga bulan lalu semua dimulai. Masa transisi biasanya adalah yang terberat untukku — tapi Yang Maha Memudahkan juga memberiku kemudahan. Semua aman terkendali. Dan seluruh rutinitas baik di perantauan tetap bisa kulakukan di tengah hiruk pikuk kehidupan di ibu kota ini: masih bisa jalan 10.000 langkah setelah subuh — dilanjutkan dengan meditasi dan journaling, menyiapkan sarapan dengan gizi cukup, have someone to talk during lunchbreak, tinggal tidak lebih dari 3km dari kantor, strength training tiap Senin Rabu, dan kick boxing tiap Selasa Kamis. Pulang ke rumah saat weekend. Well-balanced life.

I’m living the life I once dreaming of. I couldn’t be more grateful.

Pemandangan di depanku adalah bonus yang tidak kuhantarkan dalam doa, tapi tetap diberikan oleh-Nya. Aku selalu suka pemandangan kota dengan banyak gedung pencakar langitnya. Bisa berjam-jam kupandangi tanpa melakukan apapun — seperti saat ini: setengah jam sudah berlalu.

Aku melihat sekeliling. Open space hanya ada diriku — tapi cubicle terisi penuh. Sepertinya banyak yang sedang meeting. Aku menghabiskan air mineral dalam botol 2lt-ku. Notifikasi sholat ashar sudah muncul di ponselku. Untuk menutup hari, ada beberapa hal yang biasanya akan kulakukan seusai sholat: mengecek email — membalas yang harus dibalas dan menandai yang akan dikerjakan besok, mengecek to do list — apa yang sudah selesai hari ini dan apa yang harus difollow-up besok, serta memastikan materi meeting untuk besok sudah siap (if any).

Jam menunjukkan pukul 17.13 saat aku meninggalkan gedung usai berpamitan dengan timku. Berangkat kerja aku menggunakan ojek online, namun saat pulang aku selalu memilih untuk berjalan kaki. Riuh, terkadang pengendara motor menaikkan kendaraannya ke trotoar — tapi selalu menyenangkan melihat orang beraktivitas dari jarak dekat. Seorang penumpang kesusahan membuka helm dari ojek online, sekumpulan penyeberang jalan yang sibuk menekan lampu pejalan kaki dengan tidak sabar, penjual gorengan, tukang parkir yang berlari dari satu kendaraan ke kendaraan lain — tidak lupa diiringi dengan bunyi klakson di sana sini. Harmoni.

Kosanku tidak besar dan mewah — yang penting bagiku: kamar mandi dalam dan AC. Begitu sampai aku mengganti baju dengan pakaian olahraga — hanya celana training dan kaos biasa. Lalu kusiapkan snack pre-workoutku: protein bar dan jus apel sambil menyalakan TV, menimbang apakah aku harus menonton SpongeBob atau Upin Ipin. Bagian paling menyenangkannya adalah: meluruskan badan — menonton — makan. Bila tidak sedang ingin menonton, aku menghabiskan waktu dengan membaca buku atau simply scrolling sosial mediaku.

Pukul 18.30 seusai sholat maghrib aku berangkat menuju tempat gym. Tidak jauh dari kosan, hanya sekitar 10 menit berjalan kaki. Biasanya aku kembali sampai kosan pukul 20.15; mandi — sholat isya — menyiapkan baju untuk besok — membaca buku — dan tidur pukul 21.30.

Dear the Almighty — for this life I’m living, the routine I’m having, the health-the fortune-the blessed you give, I’m incredibly thankful. I can be nothing without You. You are the only place I seek help and magic in life to. May I can be obsequious to You only.

--

--

darin alya khairunnisa rizdinanti

journaling, heart-pouring, or just another ordinary story of mine.